“Welcome to Georgia!” Ucap petugas imigrasi di Tbilisi setelah memberikan stempel kedatangan di paspor saya. Alhamdulillah, kali ini e-visa yang saya bayar dengan biaya 20 Dollar Amerika berhasil menunjukkan tajinya, di mana saya berhasil masuk ke Georgia tanpa perlu terkena insiden imigrasi seperti ketika pertama kali mengunjungi Amerika Serikat pada 2014 di mana saya terkena detensi lebih dari tiga jam di bandara John F Kennedy, New York.

Example 300x600

Drama perjalanan panjang selepas pengalaman yang kami dapat di batas negara Azerbaijan-Georgia hari itu sepertinya akan berakhir ketika kami keluar dari Bandar Udara Internasional Novo Alexeyevka, Tbilisi dan akan menuju penginapan setelah menyempatkan mengambil uang di ATM dan membeli kartu SIM supaya bisa tetap online dan eksis di Instagram. Pukul sepuluh malam, kami keluar dari bandara dengan badan pegal dan keinginan supaya dapat langsung berbaring di kasur yang empuk.

“Taxi, Mister?” Seorang pria berbadan gempal, berambut cepak, dengan lengan yang berukuran sebesar paha saya menawarkan jasanya. Bulu-bulu lebat nampak menyelimuti kulitnya yang putih. Apabila di Azerbaijan orang-orangnya mirip orang Timur Tengah, maka di Georgia ini orang-orangnya lebih mirip dengan orang-orang Rusia.

Wajar saja, namanya juga bekas wilayah kekuasaan Rusia di masa lampau, walaupun dengan pengandaian demikian, saya masih merasa sedih karena tidak memiliki wajah tampan seperti orang Belanda ataupun kulit putih seperti orang Jepang.

“Mister?” Tanyanya lagi, mengalihkan pikiran saya yang memerhatikan bulu-bulu di tangannya.

Saya menatap Adi, dan mengatakan bahwa sebaiknya kita menggunakan taksi karena hari sudah malam. Adi pun mengangguk pasrah. “How much?”

“40 Lari.” Jawabnya, pada saat itu 1 Lari setara dengan 5.500 Rupiah. “Normal price.”

Saya sempat menawar harga taksinya, dengan berargumen bahwa kami hanyalah turis dari negara berkembang yang presidennya selalu dianggap salah. Namun gagal, si pria berbulu bergeming dengan penawarannya.

“Ya sudah deh, Bang, ikut!” Sebelum naik ke mobil, saya sempat memperhatikan sebuah poster di pangkalan taksi bandara yang bertuliskan ‘FIXED PRICE TO CITY – 30 LARI’. Sebuah poster yang sebelumnya ditutup-tutupi oleh badan besar si sopir taksi. Keparat, namun nasi sudah menjadi bubur.

Taxi Tbilisi Georgia

Dengan kecepatan tinggi dan teknik mengemudi yang setara dengan sopir Kopaja di Jakarta, kami dibawa meninggalkan bandara malam itu, menuju penginapan yang telah kami pesan di jantung kota Tbilisi.


Hujan rintik-rintik menerpa atap kamar yang terletak di loteng penginapan, rintiknya membangunkan kami layaknya seorang istri yang membangunkan suaminya dengan lembut, tanpa kekerasan dalam rumah tangga. Udara yang dingin pagi itu membuat saya ingin berada lebih lama lagi di balik selimut. Selimut sendiri, bukan selimut Adi.

Kami baru keluar dari penginapan pada pukul delapan pagi, bertepatan dengan rintik hujan terakhir yang turun di Tbilisi. Rencana kami hari itu cukup simpel, hanya berjalan-jalan di seputar kota, mencicipi kuliner khas Georgia, dan menuju tour operator untuk mengubah rencana perjalanan yang gagal akibat insiden di perbatasan kemarin, apabila bisa.

Dibandingkan Baku yang modern, Tbilisi justru membawa lamunan saya kembali ke beberapa abad silam, ketika Georgia masih di bawah pemerintahan Rusia, dengan tetap membiarkan bangunan kunonya terawat dengan baik. Saya juga sempat membiarkan diri saya ‘tersesat’ pada sebuah gang yang hancur berantakan, kemungkinan akibat peperangan dengan Rusia dalam South Ossetian War yang terjadi pada tahun 2008.

Secara etimologi, Tbilisi yang sekarang dipimpin oleh Kakha Kaladze –iya, Kakha Kaladze yang pemain sepakbola itu, memiliki arti ‘Warm Location’ atau daerah yang hangat, dikarenakan Tbilisi memiliki beberapa titik pemandian air panas di kotanya. Mirip lah dengan Garut. Sayang, saya tidak sempat mencoba mandi air panas secara alami, karena waktu yang sangat terbatas.

Tbilisi Georgia

“Good morning, Mister.” Sapa seorang pemuda dengan pakaian yang berantakan ketika kami sedang duduk di bangku taman di emperan Freedom Square. “I am a student.”

“And then?” Apa hubungannya student –murid, dengan saya yang sudah pantas menjadi wali murid ini.

“I need money.” Pemuda itu melancipkan jari-jari di tangan kanannya dan mengarahkan ke mulut berulang kali, memberikan kode bahwa dia sedang butuh makan. “For food and school.”

“Me too.” Saya pun juga perlu uang. Namun apa pantas Warga Negara Georgia meminta uang kepada Warga Negara Indonesia, yang berasal dari dunia ketiga? Saya menggeleng, menolak permintaanya. “I am sorry.”

Dalam perjalanan ke Rike Park yang terletak di samping Mtkvari River, seorang pria kembali mendekati kami, kali ini meminta rokok. “Are you from China? Japan?” Tanyanya.

Sungguh sebuah kehormatan disangka orang Cina atau Jepang, tapi aku wong Jowo tulen iki. Dari Rike Park, kami melanjutkan perjalanan ke Narikala Fortress yang terletak di atas bukit, dengan menggunakan cable car. Di puncak tersebut, kami beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan Tbilisi dari atas. Patung Kartlis Deda –atau yang lebih sering disebut sebagai Mother of Georgia, tenang menaungi kami dari atas. Patung aluminium yang menggambarkan seorang wanita dengan pakaian tradisional Georgia setinggi 20 meter tersebut melambangkan karakter nasional Georgia, yang ditunjukkan dengan mangkuk di tangan kiri yang melambangkan jamuan wine untuk para teman yang datang ke Georgia, dan pedang di tangan kiri untuk melindungi Georgia dari serangan musuh yang datang.

Oh iya, saya belum cerita ya kalau Georgia adalah salah satu negara penghasil wine tertua di dunia? Ya walaupun haram, namun kita harus memberikan apresiasi terhadapnya.


Tanpa sempat meminum wine, siang itu saya dan Adi menyempatkan diri untuk menikmati kuliner khas Georgia berupa Khinkali dan Khacapuri sebelum pergi ke tour operator lokal untuk mengurus paket trip kami yang terpaksa dibatalkan karena force majeur.

Hasilnya? Paket trip ke Kazbegi yang tidak sempat kami ikuti tersebut tidak jadi hangus begitu saja, melainkan kami justru mendapatkan tur ke Mtskheta sebagai gantinya. Tur yang akan kami ikuti beberapa jam lagi. Jalan-jalan keliling Tbilisi sudah, kulineran khas Georgia sudah, kali ini tinggal duduk manis dalam bus yang akan membawa kami ke Mtskheta.

Well, you can call me lucky, right?


Setelah melewati jalanan berliku dengan bukit hijau, langit biru, dan sekawanan biri-biri yang terkadang membuat jalanan macet, akhirnya kami tiba di Jvari Monastery, yang menjadi menu pembuka tur siang itu. Gereja ini terletak di sebuah bukit tepat di atas Kota Mtskheta, yang dulu menjadi ibukota Kerajaan Iberia. Persilangan sungai Mtkvari dan Aragvi terlihat menarik di kejauhan, karena perpaduan air sungainya yang cokelat dan biru kehijauan.

Mtsketha Georgia

Angin kencang dan seekor anjing yang tertidur pulas menyambut saya di gereja Georgian Orthodox yang menjadi saksi masuknya agama Kristen di Georgia pada abad ke-3 hingga ke-6 dulu. Kini, gereja yang masih terawat ini masuk ke dalam daftar World Heritage Site yang dirilis oleh UNESCO.

Sebuah salib kayu raksasa menyambut kami di sudut gereja, sementara sekumpulan lilin dinyalakan pada ruangan utama gereja yang mungkin hanya muat untuk tiga puluh jamaah saja.

Saya sedang memperhatikan sebuah salib kecil yang terbuat dari lilitan rambut pada sebuah kotak kaca ketika saya mendengar suara derap langkah orang memasuki gereja. Seorang pria berjas dengan rambut yang menipis memasuki ruangan, diikuti oleh beberapa pria dengan setelan yang sama. Sebuah pin bergambar burung garuda keemasan menempel di kerah jas mereka, sebuah pin yang mengingatkan saya akan…

INDONESIA. Pria-pria ini berasal dari Indonesia, sama seperti saya.

“Nah, ini gerejanya bagus ini.” Ucap pria pertama sembari melongok ke arah langit-langit gereja, mengagumi arsitekturnya. Saya tidak mengenali pria tersebut, namun seorang pria yang masuk berikutnya, sontak mengagetkan saya. Seorang pria bertubuh tambun, dengan wajah chubby yang akan membuat gemas siapapun yang melihatnya.

YANG MULIA BAPAK FADLI ZON! Saya menyebut namanya secara histeris dalam hati, apa yang dia lakukan di sini?

Saya mencoba tersenyum ramah kepadanya, yang air mukanya seperti kaget tatkala menemukan ada orang Indonesia lain pada suatu tempat antah-berantah di Kaukasus. “Loh kamu ngapain di sini?” Tanyanya. Sebuah pertanyaan yang seharusnya lebih pantas saya tanyakan kepada Beliau, yang mengunjungi Georgia dengan menggunakan uang rakyat.

“Jalan-jalan Pak?” Kalau Bapak ngapain ke sini? Saya bertanya dalam hati.

“Wah, jalan-jalan kok jauh banget ke sini?” Seorang pria di samping Yang Mulia bertanya, nampak heran dengan pilihan destinasi yang tidak umum.

“Hehehe.” Saya terkekeh, dan menjelaskan sekilas pekerjaan saya sebagai penulis perjalanan. Seorang wanita berkerudung yang bertugas menemani rombongan sempat berkomentar bahwa hidup saya enak, karena bisa jalan-jalan terus. Well, lebih enak mana dengan jalan-jalan dibiayai oleh negara, Mbak?

“Ini kebetulan Bapak sedang ada kunjungan muhibah ke Georgia.” Ucapnya, menjelaskan maksud kedatangan Yang Mulia di Mtskheta. Secara garis besar, kunjungan muhibah dapat diartikan sebagai kunjungan anggota DPR dalam rangka mengukuhkan tali persahabatan yang sudah ada antara kedua negara. Kunjungan ini sebaiknya dapat mendatangkan manfaat bagi Indonesia, karena kalau tidak maka dapat dibilang kunjungan ini hanya akan menimbulkan musibah, karena dibiayai oleh pajak yang dibayarkan rakyat Indonesia.

Saat itu, saya hanya bisa membatin, ternyata seorang Fadli Zon yang kerap ‘membela’ Islam di Indonesia, juga suka mengunjungi bangunan-bangunan nasrani, di luar negeri. Ya semoga saja kunjungan ini mendapat restu dari rakyat Indonesia.

Siang itu, Yang Mulia Bapak Fadli Zon beserta rombongan meninggalkan Jvari Monastery dengan menggunakan voorijder bersirine, yang menimbulkan pertanyaan tambahan bagi saya. Apakah perlu menggunakan jasa pengawal, kalau macet di Georgia hanya disebabkan oleh biri-biri? Untungnya saya sudah sempat berfoto bersama Beliau sebagai kenang-kenangan, dan juga barbuk.

Macet di Georgia

Oh, mungkin demi keamanan dan keselamatan, karena Beliau adalah aset berharga milik bangsa Indonesia. Saya mencoba berpikir positif. Kami berpisah di Jvari Monastery, karena saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Svetitskhoveli Cathedral dan Samtavro Monastery yang terletak di jantung Mtskheta.

Saya sempat berpikir bahwa saya termasuk orang yang beruntung karena berkat insiden di perbatasan, saya jadi bisa bertemu dengan Yang Mulia di Georgia. Kalau tidak, mungkin perjalanan ini tak akan menimbulkan kesan yang mendalam, bagi saya, Warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak.

Artikel ini seharusnya diterbitkan pada buku kumpulan perjalanan Born to Travel 2, inisiasi dari kawan penulis perjalanan, Hendra Fu. Namun kabar duka keburu datang, ketika Hendra Fu dipanggil oleh-Nya beberapa waktu lalu, sebelum sempat menerbitkan buku kumpulan cerita perjalanan yang digagasnya bersama rekan penulis perjalanan yang lain.